Selasa, 29 November 2011

antony gidden



PENGANTAR

Pemikiran filsafat dan sosiologi selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman dengan munculnya cendekiawan-cendekiawan baru. Diantara mereka ada yang mendukung teori-teori lama lalu menyempurnakannya dan diantaranya lagi menentang teori lama dengan segenap alasannya yang logis. Diantara mereka adalah Anthony Giddens, seorang sosiolog ternama asal Inggris. Ia dikenal dengan teori strukturasinya, di mana argumen utamanya adalah bahwa antara subjek dan objek, antara strukur dan agensi bukannya bersifat dualisme (pertentangan) melainkan bersifat dualistik.
Giddens mencoba menolak dualisme yang selama ini di dengungkan oleh Descartes dan beberapa filsuf lain. Baginya struktur merupakan bagian integral dari suatu agency, bukan bersifat eksternal. Antara keduanya ada kaitan yang saling berhubungan. Bicara masalah struktur dan agency, semuanya tidak hadir dalam ruang dan waktu yang kosong, artinya bahwa tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Semuanya ada dalam ruang dan waktu.
Dalam makalah singkat ini, penulis berusaha memotret pemikiran Anthony Giddens ini dengan sesederhana mungkin supaya lebih mudah dipahami, mengingat bahasan teori strukturasi dalam buku Giddens ini tergolong agak sulit dipahami. Makalah ini akan dimulai dengan membahas biografi Giddens, yang kemudian dilanjutkan dengan pemikiran strukturasinya dan beberapa point penting lainnya.

PEMBAHASAN

A. Biografi Anthony Giddens
Anthony Giddens dilahirkan di Edmonton, London utara, Inggris pada tanggal 18 Januari 1938. Ia adalah sosiolog asal Britania Raya. Giddens belajar di Universitas Hull, di the London School Economics, dan di Universitas London. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Tahun 1969, ia beralih jabatan menjadi dosen sosiologi di Universitas Cambridge dan sebagai anggota King’s College. Ia terlibat dalam studi tentang pencampuran kultur, menghasilkan bukunya yang pertama yang mencapai penghargaan internasional, berjudul The Class Structure of Advanced Societies (1975).
Selama dekade berikutnya, ia menerbitkan sejumlah karya teoritis penting. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku The Constitution of Society : Outline of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teoritis Giddens. Tahun 1985 ia diangkat menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Cambridge.
Giddens berpengaruh dalam teori sosiologi lebih dari dua dekade. Ia pun berperan penting dalam membentuk sosiologi Inggris masa kini. Salah satunya, ia menjadi konsultan editor dua perusahaan penerbitan. Macmillan dan Hutchinson. Lebih penting lagi, ia adalah salah seorang pendiri Polity Press, sebuah perusahaan penerbitan yang sangat aktif dan berpengaruh terutama dalam teori sosiologi. Giddens pun menerbitkan Sociology (1987), sebuah buku ajar yang ditulisnya menurut gaya Amerika, yang mencapai sukses di seluruh dunia.
Di 1980-an, karir Giddens mengalami serangkaian perubahan menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada ketertarikan yang lebih besar terhadap kehidupan personal dan buku-buku seperti Modernity and Self-Identity (1991) dan The Transformation of Intimacy (1992). Terapi juga memberikan kepadanya kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Pada 1997 beliau menjabat sebagai direktur London School of Economic (LSE), sebuah sekolah yang sangat disegani. Beliau memperkuat reputasi akademis LSE dan pengaruhnya dalam wacana publik baik di Inggris maupun di seluruh dunia. Ada beberapa suara yang menyatakan semua ini yang mengakibatkan kemunduran kemampuan akademis Giddens (karyanya di 1990-an kurang dan membingungkan dibanding karya terdahulunya). Tapi beberapa waktu kemudian, beliau kembali berkonsentrasi untuk menjadi kekuatan yang patut dipertimbangkan di masyarakat.

B. Teori Strukturasi Anthony Giddens
Untuk memahami teori Giddens, setidaknya mempelajari pandangan-pandangannya terhadap teori fungsionalisme dan strukturalisme. Yang paling inti dalam memahami strukturasi Giddens adalah kritik kerasnya atas gejala dualisme yang melekat dalam berbagai teori, khususnya dua teori di atas. Ia tidak setuju dengan dualisme struktur dan pelaku, namun ia lebih menekankan apa yang ia sebut dengan dualitas. Atas fakta struktur dan pelaku bukanlah sesuatu yang saling menegasikan atau bertentangan, tapi keduanya saling mengandaikan.
Menurut Giddens, teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme). Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menjelaskan hubungan antara struktur dan individu bukan merupakan sesuatu yang dikotomis atau dualisme karakter, melainkan sebagai dua hal yang saling berhubungan secara dialektis dan kontinum sehingga menghasilkan dualitas struktur yakni tindakan individu dan struktur yang saling membutuhkan. Sedangkan dualisme pada awalnya merupakan konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Jika ditarik dalam tataran sosiologis, maka dualisme berarti tidak adanya kaitan antara struktur dan agensi. Maksudnya, ’struktur’ ternyata sebagai sesuatu yang bersifat ’eksternal’ bagi tindakan manusia. Inilah yang ditolak Giddens.
Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu, melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuannya, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki ’unintended consequences´ (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya.
Dalam memahami pemikiran Giddens, minimal bisa berangkat dari dua pokok pembicaraan. Pertama, ialah pelaku (agent) dan struktur (structur), kedua ialah ruang (space) dan waktu (time).
1. Struktur dan Agensi (Pelaku)
Inilah kritik paling menonjol dalam gagasan strukturasi Giddens. Ia mengritik keras gagasan tentang hubungan keduanya yang selalu dilekati dengan dualisme sebagai pokok analisis sosiologi dalam berbagai teori. Baginya, analisis sosial semestinya menekankan pada aspek dualitas keduanya, bukan dualisme. Bahwa pelaku dan struktur berhubungan memanglah tak disangkal. Tapi bagaimana keduanya berkaitan dalam berbagai perilaku sosial, itulah yang harus dipersoalkan. Apakah pelaku dan struktur berhubungan dengan mengedepankan perbedaan (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal balik)? Ilmu sosial, menurut Giddens, selama ini dikuasai pandangan dualisme vis a vis. Ia menolak itu dan mengenalkan hubungan keduanya dalam gagasan dualitas. Pelaku dan struktur berhubungan timbal balik atau saling mengandaikan.
’Agensi’ (Pelaku) adalah orang-orang yang kongkrit dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur dalam pengertian Giddens bukanlah totalitas gejala, bukan ‘kode tersembunyi’ khas strukturalisme, cara produksi marxis, bukan sebagian dari totalitas gejala khas fungsionalisme. ’Struktur’ adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk (dan membentuk) dari perulangan praktik sosial. Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu praktik sosial. Praktik sosial yang seperti inilah yang seharusnya menjadi pokok pembahasan dalam analisis sosial. Dari pengertian seperti inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku sosial.
Perilaku sosial inilah yang semestinya menjadi obyek utama kajian ilmu sosial, bukan struktur atau pelaku secara terpisah. Praktik sosial itu bisa saja berbentuk penyebutan Idul Fitri dengan lebaran, fenomena mudik menjelang lebaran, memberikan zakat kepada fakir miskin, sholat id di lapangan atau masjid dan seterusnya. Dualitas yang dimaksud terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai sarana (medium dan resources) dan menjadi pedoman praktik sosial di berbagai tempat. Sesuatu yang mirip ‘pedoman’ atau prinsip-prinsip ‘aturan’ itu merupakan sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan sosial masyarakat. Giddens menyebut hal itu sebagai struktur.
Bila Durkheim memandang struktur bersifat mengekang (constraining), Giddens justru menyatakan struktur bersifat memberdayakan (enabling), dengan unsur timbal balik (dualitas) nya dengan pelaku, di dalam struktur itu memungkinkan terjadinya berbagai praktik sosial (sosial practices). Obyektivitas struktur yang terdapat dalam teori strukturasi dapat diandaikan sebagai ‘melekat’ dalam tindakan atau praktik sosial itu sendiri.
Ada tiga pokok yang biasanya terdapat dalam struktur sebagaimana dinyatakan dalam teori strukturasi Giddens, yaitu:
a. Struktur penandaan atau signifikasi (signification -S) yang menyangkut skema simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana.
b. Struktur dominasi / penguasaan (domination -D) yang menyangkut penguasaan dalam konteks politik maupun ekonomi.
c. Struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation -L) yang berkaitan dengan peraturan normatif dalam tata hukum.
Sebagai contoh, Menyebut ‘Idul Fitri sebagai lebaran’ merupakan struktur penandaan / signifikasi, penentuan hari H lebaran oleh Kementerian Agama merupakan struktur dominasi dalam pengertian kebijakan politik, pengaturan lalu lintas para pemudik oleh aparat polisi maupun Departemen Perhubungan merupakan praktik struktur legitimasi. Pada saat tertentu, gugus struktur di atas bisa saling terkait. Dalam bahasa lain, struktur dalam pengertian Giddens ini menyangkut simbol / wacana, tata ekonomi, tata politik dan tata hukum.
Dalam berbagai ‘tata’ di atas, dualitas antara pelaku dan struktur berlangsung setiap saat, dan struktur akan menjadi sarana praktik sosial. Ucapan ‘minal aizin wal faizin’ itu adalah ungkapan penandaan (signifikasi) seseorang / kelompok untuk meminta maaf kepada seseorang/kelompok yang akan bisa dipahami oleh seseorang / kelompok dalam masyarakat tertentu. Demikian pula untuk menentukan kapan berakhirnya puasa dan lebaran dimulai, setiap jam 7 atau jam 8 malam sebagian besar masyarakat menunggu hasil sidang isbath (pemerintah dan masyarakat) untuk menjadi keputusan pemerintah tentang penentuan hari lebaran. Hal yang sama juga pada saat aparat menyatakan akan menerjunkan para penembak gelap (sniper) untuk mengamankan lebaran, mengatur lalu lintas para pemudik, dan menghukum para pencopet terminal yang tertangkap saat menjalankan aksinya memanfaatkan momentum lebaran yang berdesakan.
Bila status pelaku (agent) dalam fungsionalisme Parsons atau materialisme historis Althusser adalah seperti halnya wayang di tangan dalang dan melakoni peran-peran yang sudah ditentukan, muncul pertanyaan lanjutan, apakah pelaku dalam dualitas struktur khas Giddens ini tahu dan sadar akan tindakannya? Apakah para pemudik itu tahu bahwa yang ia lakukan adalah sebuah proses ‘mudik’ atau sekedar rutinitas tak sadar pelaku bahwa setiap lebaran ia harus pulang kampung naik kereta berdesak-desakan? Giddens menyatakan bahwa setiap pelaku atas strukturnya tahu, walaupun tak selalu harus menyadari (conscious).
Untuk memahami kaitan ketiganya. Dalam teori strukturasi, si agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran:
1. Kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif.
2. Kesadaran praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah, tidak ada tabir represi yang menutupi kesadaran praktis.
3. Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives / cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.

Bagi Giddens, analisis sosial semestinya menekankan pada aspek dualitas keduanya, bukan dualisme. Bahwa pelaku dan struktur berhubungan memanglah tak disangkal. Tapi bagaimana keduanya berkaitan dalam berbagai perilaku sosial, itulah yang harus dipersoalkan. Apakah pelaku dan struktur berhubungan dengan mengedepankan perbedaan (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal balik)?
Pelaku adalah orang-orang yang kongkrit dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur dalam pengertian Giddens bukanlah totalitas gejala, bukan kode tersembunyi khas strukturalisme, cara produksi marxis, bukan sebagian dari totalitas gejala khas fungsionalisme. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk (dan membentuk) dari perulangan praktik sosial.
Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu praktik sosial. Praktik sosial yang seperti inilah yang seharusnya menjadi pokok pembahasan dalam analisis sosial. Dari pengertian seperti inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku sosial.
Dalam prakteknya, tindakan seseorang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi beberapa struktur yang berbeda dalam waktu yang sama. Pertemuan lebih dari satu struktur ini kemungkinan akan menimbulkan:
1. Mediasi, yaitu struktur yang satu menjadi perantara munculnya struktur yang lain. Dapat dikatakan produksi dari suatu struktur dapat membentuk struktur baru atau melengkapi struktur yang sudah ada.
2. Kontradiksi, yaitu struktur yang satu mengatasi atau menghapus struktur yang lama. Hal ini disebabkan adanya pertentangan yang memicu konflik antar struktur sehingga menghasilkan perubahan struktur yang berguna untuk mengatasi munculnya konflik yang berkepanjangan ataupun menghapus struktur yang sudah tidak relevan.
2. Ruang dan Waktu
Ruang dan waktu adalah pokok sentral lain dalam teori strukturasi. Tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Ruang dan waktu menentukan bagaimana suatu perilaku sosial terjadi. Mereka bukan semata-mata arena atau panggung suatu tindakan terjadi sebagaimana dipahami dalam teori-teori sosial sebelumnya. Mereka adalah unsur konstitutif dalam proses tindakan itu sendiri. Dengan mengadaptasi filsafat waktu Martin Heidegger, Giddens menegasikan bahwa ruang dan waktu semestinya menjadi bagian integral dalam ilmu sosial.
Giddens membedakan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial. Hubungan antara ruang dan waktu bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri, karena pelaku dan tindakan tidak dapat dipisahkan.
Struktur merupakan usaha koseptual yang sangat berat, sifat struktur sistem sosial sampai kini hanya ada sebagai bentuk perilaku sosial yang secara terus menerus diproduksi dengan waktu dan ruang. Sentralitas waktu dan ruang diajukan untuk memecah kebuntuan dualisme statis / dinamik, sinkroni / diakroni, atau stabilitas / perubahan. Dualisme seperti ini terjadi karena waktu dan ruang biasanya diperlakukan sebagai panggung atau konteks bagi tindakan. Waktu dan ruang merupakan unsur yang konstitutif bagi tindakan. Artinya, tidak ada tindakan tanpa waktu dan ruang. Karena itu, tidak ada waktu yang melulu statistik dan melulu dinamik.
Dualitas Struktur dan sentralitas waktu dan ruang menjadi poros terbentuknya teori strukturasi dan berperan dalam menafsirkan kembali fenomena-fenomena modern, seperti negara-negara, globalisasi, ideologi, dan identitas. Teori strukturasi menunjukkan bahwa agen manusia secara kontinyu mereproduksi struktur sosial, artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur sosial.
Gagasan dualitas (timbal-balik) antara pelaku dan struktur diajukan untuk menepis konsep dualisme (pertentangan). Sentralitas waktu dan ruang, bersama dualitas pelaku dan struktur menjadi dua tema sentral yang menjadi poros teori strukturasi.
Perlu penegasan bahwa semua perilaku di sini berjalan dalam, bukan melalui, ruang dan waktu. Dalam pandangan Giddens, ruang-waktu bisa digunakan untuk membaca fenomena globalisasi, membedakan praktik sosial maupun menentukan perbedaan antara masyarakat modern dan tradisional. Itulah mengapa orang sekarang untuk beridul fitri cukup dengan menulis status di Facebook atau sekedar mengirim SMS. Hal yang sama tidak akan kita jumpai tahun 1970an, saat mana orang beridul fitri harus berjumpa dengan saudara atau kerabatnya.
Begitulah ruang dan waktu mempengaruhi tindakan yang sama yang dilakukan pelaku dan menghasilkan praktik sosial yang berbeda. Di zaman internet ini, kini waktu dan ruang semakin lebur sebagai batas alami yang sulit ditembus. Ruang-waktu menjadi sesuatu yang bisa diatur.

KESIMPULAN

Menurut Giddens, teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme). Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia. Struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal.
Struktur sebagai medium, dan sekaligus sebagai hasil (outcome) dari tindakan-tindakan agen yang diorganisasikan secara berulang (recursively). Struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat, namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained) oleh masyarakat.
Tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Inilah tema sentral pokok teori strukturasi Giddens yang lain. Ruang dan waktu menentukan bagaimana suatu perilaku sosial terjadi. Unsur ruang dan waktu ini sedemikian sentralnya dalam gagasan strukturasi Giddens sehingga ia menamakan teorinya sebagai strukturasi. Tambahan -asi di dalamnya bermakna sebagai kelangsungan proses. Ada proses menjadi yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu.


DAFTAR PUSTAKA


A. F. Charisma. “Teori Strukturasi Giddens” dalam http://www.scribd.com/Teori-Strukturisasi-Giddens/d/40422607, (27 Oktober 2010).
Arif, Saiful. “Teori Struturasi Anthony Giddens” dalam http://www.jelajahbudaya.com (20 September 2010).
Giddens, Anthony. Capitalism and Modern Social Theory. An Analysis of the writings of Marx, Durkheim and Max Weber. Cambridge : Cambridge University Press, 1971.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Terj. Adi Loka Sujono. Pasuruan: Pedati, 2003.
Halim, Paisal. ”Biografi Anthony Giddens”, dalam http://doktorpaisal.wordpress.com (28 Oktober 2010).
Hart, W.D. "Dualism", dalam A Companion to the Philosophy of Mind, ed. Samuel Guttenplan. Oxford: Blackwell, 1996.
Priyono, B. Herry. Anthony Giddens: suatu pengantar. Cetakan kedua. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2003.

Teori Sosial


Konsep Dasar Sosiologi Simmel Serta Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.
Tindakan, Kelas, dan Status Sosial
Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.
Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya.
Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih tinggi


Simmel dan Konsep Sosiologinya


Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri.


Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel

Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.
Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi.
Sumber Buku Teori Sosiologi Klasik Karya Boedhi Oetoyo, dkk.

Selasa, 15 November 2011

tugas uts

OBJEKTIF SUBJEKTIF MIKROSKOPIK
Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya adalah terdapat empat tingkat utama analisis sosial dan sosiolog harus memusatkan perhatian pada hubungan dialektika dari keempat tingkat analisis ini.Baru-baru ini Ritzer menggunakan pendekatan integrasi mikro-makro dalam karyanya yang berjudul Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society. Khususnya Ritzer menggunakan gagasan C. Wright Mills tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit. Kesukaran personal adalah masalah yang memengaruhi seorang individu dan orang lain di sekitarnya. Pada tingkat makro, kumpulan utang konsumen telah menjadi masalah publik, karena besarnya dan pertumbuhan jumlah orang adalah meningkatkan utang kepada perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit. Akibat samping utang konsumen yang bertambah besar ini adalah peningkatan angka kejahatan dan kebangkrutan perusahaan. Akibat samping lainnya di tingkat makro dan masalah publik adalah peran yang dimainkan pemerintah dalam mendorong memperbesar utang konsumen melalui kecenderungannya sendiri untuk menumpuk utang. Lebih penting lagi adalah peran yang dimainkan perusahaan kartu kredit dalam mendorong orang untuk berutang dengan melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan agar orang mengambil kartu kredit sebanyak-banyaknya.Sosiologi MultidimensionalJeffrey Alexander menawarkan apa yang ia sebut �logika teoritis baru untuk sosiologi�. Logika baru ini memengaruhi �pemikiran sosiologi di setiap tingkat kontinum intelektual�. Dengan semangat ini, Alexander menawarkan apa yang istilahkan sebagai sosiologi multidimensional. Alexander menunjukkan bahwa kontinum mikro-makro (tingkat analisis individual atau kolektif) meliputi cara keteraturan diciptakan dalam masyarakat. Di titik ujung makro dari kontinum, keteraturan tercipta dari luar dan berciri kolektif; artinya keteraturan diciptakan oleh fenomena kolektif. Di ujung mikro dari kontinum keteraturan berasal dari kekuatan internal dan bersifat individulistik; yakni, keteraturan berasal dari negosiasi individual.Ke dalam masalah keteraturan ini ditambahkan problem tindakan menurut pendirian Parsonsian klasik. Tindakan meliputi kontinum materialis-idealis yang sejajar dengan kontinum objektif-subjektif yang digunakan dalam integrasi paradigma sosiologi Ritzer. Di ujung material, tindakan dilukiskan sebagai instrumen rasional dan kondisional. Di ujung nonmaterial (idealis), tindakan adalah normatif nonrasional dan perasaan kasih sayang. Bila kita meyilangkan kontinum ketertiban dan tindakan Alexander kita menemui empat tingkatan analisis yang digunakan Ritzer. Meskipun Alexander menggunakan empat tingkat analisis yang sangat serupa dengan empt tingkat analisis yang digunakan Ritzer, terdapat perbedaan penting antara kedua model itu. Alexander memberikan prioritas pada teori-teori kolektif normatif dan memusatkan perhatian pada norma dalam kehidupan sosial. Ritzer menolak untuk memberikan prioritas pada salah satu tingkat dan menegaskan perlunya meneliti hubungan dialektika di kalangan dan antara seluruh keempat tingkat. Alexander bermaksud memberikan arti yang sangat penting pada fenomena makro (subjektif) dan akibatnya sumbangannya terhadap upaya mengembangkan sebuah teori yang mengintegrasikan fenomena mikro-makro sangat terbatas. Dapat dinyatakan bahwa Alexander termasuk teoritisi yang keliru itu karena ia secara keliru membuat generalisasi dari tingkat normatif-kolektif ke tingkat kehidupan sosial lainnya.Model dari Mikro ke MakroColeman memusatkan perhatian pada masalah hubungan dari mikro ke makro dan mengurangi arti penting masalah hubungan dari makro ke mikro. Model Coleman menjelaskan baik itu masalah dari makro ke mikro maupun masalah mikro ke makro, juga menjelaskan hubungan dari mikro ke makro. Meski menjanjikan, model ini dihadapkan dengan hubungan sebab akibat, pada aliran panah yang hanya ke satu arah. Model yang lebih memadai seharusnya model hubungan dialektika, seluruh panah menunjuk kedua arah sehingga memberikan umpan balik diantara semua tingkat analisis. Kelemahan utama pendekatan Coleman adalah karena ia hanya ingin memusatkan perhatian pada hubungan dari mikro ke makro saja.Dari situ, Allen Liska mencoba menanggulangi kelemahan tersebut. Ada dua keuntungan penggunaan model ini ketimbang pendekatan Coleman. Pertama, hasrat Liska untuk menjelaskan hubungan dari makro ke mikro. Kedua, rincian hubungan (panah a) antara kedua fenomena tingkat makro itu. Namun, seperti Coleman, Liska hanya menjelaskan hubungan kausal satu arah panah saja dengan demikian mengabaikan hubungan dialektika antara semua faktor itu.Liska menggunakan model terkenal untuk melukiskan fenomena makro. Pertama, agregasi atau mengumpulkan properti individual untuk menghasilkan karakteristik kelompok. Kedua, secara struktural dan ini meliputi hubungan antara individu di dalam sebuah kelompok. Ketiga, fenomena global meliputi apa yang biasanya dibayangkan orang sebagai karakteristik penting seperti hukum dan bahasa. Liska menyimpulkan bahwa teoritisi makro harus lebih banyak bekerja dengan pengumpulan dan teoritisi mikro harus lebih banyak bekerja dengan aktor kontekstual.Landasan Mikro Sosiologi MakroCollins memusatkan perhatian pada apa yang ia sebut �ikatan ritual interaksi� atau ikatan �rantai individual dari pengalaman interaksi yang saling bersilangan dalam ruang dan mengalir sepanjang waktu�. Collins juga menjauhkan diri dari teori makro dan perhatiannya terhadap fenomena tingkat makro. Collins berupaya menunjukkan mengapa �seluruh fenomena makro� dapat ditafsirkan sebagai �kombinasi dari kejadian mikro�. Secara spesifik ia menyatakan bahwa struktur sosial dapat ditafsirkan secara empiris menjadi �pola interaksi mikro yang berulang-ulang�.Pendapat Collins tersebut didukung oleh Knorr Cetina tentang sangat pentingnya peran interaksi, namun dalam karyanya ia memberikan peran lebih besar baik terhadap fenomena kesadaran meupun fenomena tingkat makro.Aaro Cicourel, rekan menulis Knorr Cetina, berpendirian lebih integratif. Ia menyatakan �struktur mikro atau makro tak dapat dianalisis secara tersendiri; keduanya berinteraksi sepanjang waktu, meski ada yang hanya menekankan pada salah satu tingkat analisis saja�.Kembali ke Masa Depan: Sosiologi Figurasional Nobert EliasNobert Elias terlibat dalam upaya menanggulangi perbedaan mikro-makro dan lebih umum lagi untuk mengatasi kecenderungan sosiolog membedakan antara individu dan masyarakat. Yangpenting dalam bahasan ini adalah fakta bahwa gagasan tentang figurasi sosial ini dapat diterapkan baik di tingkat mikro maupun makro dan untuk setiap fenomena sosial antara kedua kutub mikro dan makro itu. Figurasi adalah proses sosial yang menyebabkan terbentuknya jalinan hubungan antara individu. Figurasi bukanlah sebuah struktur yang berada di luar dan memaksa relasi antara indvidu; figurasi adalah antar hubungan itu sendiri. Individu dipandang sebagai terbuka dan saling tergantung; figurasi tersusun dari kumpulan individu tersebut. Kekuasaan adalah penting dalam figurasi sosial, dan karena itu, berada dalam keadaan terus-menerus berubah.Pemikiran Elias tentang figurasi berkaitan dengan pemikiran bahwa individu adalah terbuka terhadap dan saling berhbungan dengan individu lain. Ia menyatakan bahwa kebanyakan sosiolog beroperasi dengan pemahaman tentang homo clausus, yakni �gambaran bahwa setiap orang akhirnya bebas secara mutlak dari semua orang lain, setiap orang menjadi individu di dalam dirinya�.Sejarah Tatakrama (Manners)Bila Weber dapat dilihat sebagai orang yang memusatkan perhatian pada rasionalitas masyarakat Barat, Elias memusatkan perhatian pada peradaban negeri Barat. Dalam studinya tentang sejarah tatakarama, Elias tertarik pada transformasi historis bertahap dari berbagai jenis perilaku biasa menurut arah yang kini akan kita sebut sebagai perilaku yang diadabkan (civilized). Menurutnya, proses peradaban dapat ditelusuri ke belakang ke zaman kuno, ke hari ini dan akan berlanjut ke masa depan. Peradaban adalah sebuah proses pengembangan terus-menerus. Perubahan ini tidak ditimbulkan secara sadar, tetapi secara tidak disadari.Fungsi-fungsi NaturalMasyarakat secara bertahap memperkuat pemberangusan komponen kesenangan positif tertentu dalam fungsi tertentu dengan memunculkan kegelisahan; atau lebih tepatnya, masyarakat membuat kesenangan menjadi bersifat �pribadi� dan �rahasia� (yakni menekannya ke dalam diri individu) sembari mengembangkan pengaruh yang dianggap negatif – perasaan tak senang, perubahan perasaan, perasaan tak suka – sebagai satu-satunya perasaaan yang lazim dalam masyarakat.Secara menyeluruh The History of Manner memusatkan perhatian pada perubahan cara individu berpikir, bertindak, dan berinterksi. Pada umumnya memusatkan perhatian pada fenomena tingkat mikro. Akan tetapi, ada dua faktor yang menghalangi interpretasi semacam iu. Pertama, dalam karya itu meski ia juga membahas perubahan tingkat mikro (misalnya, perubahan di lingkungan istana), namun bersamaan dengan itu ia menyatakan bahwa struktur kepribadian dan struktur masyarakat berubah dalam keadaan saling berhubungan yang tak terpisahkan. Kedua, The History of Manner ditulis dengan kesadaran bahwa jilid keduanya, Power and Civility, memusatkan perhatian untuk menerangkan lebih rinci perubahan tingkat makro yang mengiringinya.Kekuasaan dan Kesopanan (Civility)Karya Elias yang lain adalah Power and Civility, yang lebih memusatkan perhatian pada analisis makroskopik,meski kemudian terang-terangan ia menolak perbedaan analisis mikro-makro. Kesulitan Elias dalam menjelaskan hubungan mikro-makro menurut pendekatan integratif tercermin dari fakta bahwa ia membedakan antara penelitian psikogenetik dan sosiogenetik. Dalam psikogenetik, orang memusatkan perhatian pada psikogenetik individual, sedangkan penelitian sosiogenetik mempunyai cakupan lebih luas dan mempunyai perspektif yang berjangkauan lebih panjang, yang memusatkan perhatian pada �struktur menyeluruh, tak hanya terfokus pada keadaan masyarakat tunggal, tetapi pada kehidupan sosial yang dibentuk oleh sekelompok khusus masyarakat-masyarakat yang saling tergantung dan pada keteraturan rentetan evolusinya�.Menurut Elias, peningkatan perbedaan fungsi sosial ini berkaitan erat dengan apa yang disebutnya �reorganisasi total susunan sosial�. Ia melukiskan proses historis yang menjadi saksi kemunculan organ sentral masyarakat yang makin stabil yang memonopoli penggunaan kekuatan fisik dan pajak.Aspek yang menarik dari argumen Elias adalah bahwa ia mengakui pengendalian kemauan sendiri itu bukanlah suatu yang sempurna. Walau menguatnya pengendalian terhadap kemauan dapat mengurangi tindakan kekerasan, namun ia juga meningkatkan kebosanan dan kegelisahan. Makin panjangnya rantai ketergantungan tak hanya berkaitan dengan makin kuatnya pengendalian atas kemauan individual, tetapi juga berkaitan dengan makin meningkatnya kepekaan terhadap orang lain dan diri sendiri. Aspek sangat penting dari proses pemberadaban (civilizing) adalah mensosialisasikan generasi muda sedemikian rupa sehingga mereka mampu mengembangkan pengendalian diri sendiri.KepustakaanRitzer, George-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2007

PENGERTIAN FUNSIONALISME STRUKTURAL (TEORI-TEORI SOSIAL)

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.

Naturalistik sosial
Keadilan sosial adalah keadilan yang didasarkan pada norma-norma dan nilainilai
agama, terlepas dari nilai yang mengejawantahkan dalam hukum dan politik
dipersiapkan untuk menerima melalui adat kebiasaan, sikap positifnya atau lainnya.
Bagi para teolog dan filosof muslim, keadilan adalah suatu konsep yang
abstrak dan idealis, diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna.
Mereka tidak berusaha serius melihat keadilan sebagai suatu konsep yang positif serta
menganalisannya dari sudut kondisi-kondisi sosial yang ada. Mereka memang
adakalanya mengacu pada ide-ide skeptik dan atheis (zindiq) yang nampaknya telah
mempersoalkan validitas nilai-nilai yang berasal dari wahyu serta meneguhkan suatu
standar naturalistik bagi urusan-urusan manusia, akan tetapi statemen mereka yang
tidak signifikan belum sampai pada sorotan kecuali referensi-referensi yang
adakalanya samar-samar dalam karya-karya musuh mereka, lebih menarik untuk
menyangkal doktrin-doktrin atheistik daripada dalam statemen lengkap tentang
pandangan-pandangan yang atheistik37.
Yusuf Qardhawi, menyatakan bahwa sesungguhnya kebebasan yang
disyariatkan Islam dalam bidang ekonomi bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas
dari setiap ikatan, tetapi ia adalah kebebasan yang terkendali, terikaat dengan
“keadilan” yang diwajibkan oleh Allah. Hal ini karena dalam tabiat masyarakat ada semacam kontradiksi yang telah diciptakan Allah padanya, suatu hikmah yang
menjadi tuntutan pemakmuran bumi dan kelangsungan hidup38
Keadilah dalam Islam adalah fondasi dan pilar penyangga kebebasan
ekonomi yang berdiri di atas pemuliaan fitrah dan harkat manusia. Ketika Allah
memerintahkan tiga hal, maka keadilan merupakan hal pertama yang disebutkan Pandangan Ibnu Khaldun tentang keadilan tampaknya berasal dari kajian dan
pengalaman pribadinya dengan kekuatan-kekuatan terhadap masyarakat yang terlepas
dari tradisi-tradisi Islam. Dengan relatifitas pandangan masing-masing peneliti, ada
yang menilai dengan metode induktifnya karena menggunakan konsep sekuler,
misalnya ashabiyah (suatu bentuk solidaritas sosial berdasarkan hubungan sanak
keluarga), dan menganggapnya kembali suatu pandangan bahwa ia dibesarkan dalam
suatu tradisi hukum Islam dan filsafat serta memformulasikan teori-teori tentang
masyarakat pada dasarnya di dalam konteks tradisi Islam.
Pada edisi terakhir Muqaddimah, terkandung sejumlah statement mengenai
beragam cabang ilmu pengetahuan Islam yang telah ditambahkan setelah ia tinggal
dan menetap di Mesir. Memang tidak mudah untuk mengetahui tingkat kesetiaan
Ibnu Khaldun pada tradisi-tradisi; karena alasan ini pula maka al-Muqaddimah mesti
dibaca secara keseluruhan untuk memahami konsep-konsep sosialnya. Karena dalam
kajian yang berurusan dengan konsep keadilan, sebuah jawaban tentang apakah
konsep tentang keadilannya benar-benar sekuler atau religius, dapat diberikan hanya
mungkin dari perspektif khusus ini.
Dalam Al-Muqaddimah-nya, keadilan didiskusikan sebagai suatu konsep
sosial dalam konteks suatu teori tentang masyarakat yang prosesnya ditentukan oleh
faktor-faktor sosial yang melampaui kontrol seorang manusia. Dengan kata lain,
suatu konsep tentang keadilah boleh jadi dianggap suatu apoligia karena
ketidakmampuannya mengontrol kekuatan-kekuatan sosial dan memperbaiki
kedzaliman-kedzaliman yang berasal dari mereka. Sebagai seorang hakim yang harus
melaksanakan keadilan yang obyektif, ia mengambil pesan seorang partisipan dalam suatu proses sosial yang ia coba untuk mempengaruhinya sesuai dengan skala
keadilan yang digenggamnya. Dalam kapasitas itu, ia tidak harus berlama-lama
tunduk pada suatu pandangan yang determenistik tentang suatu proses sosial.43
Dari uraian di atas, salah satu aspek penting dalam hukum, yakni aspek
kekuatan sosial tampak mejadi perhatian utama Ibnu Khaldun. Berangkat dari konsep
umran, Ibnu Khaldun sangat menekankan sebuah arti keadilan. Keadila dalam
menjalankan proses sosio-ekonomi, sehingga menjadi suatu pedoman hukum yang
pasti.
Sedangkan teori mengenai perkembangan ekonomi masyarakat terhadap
keadilan dalam al-Muqaddimah, yang merupakan perhatian utama Ibnu Khaldun
adalah suatu analisa tentang masyarakat besar, dimana strukturnya dan kekuatankekuaatan
sosialnya mempengaruhi kehidupan dan nasib manusia. Dalam struktur,
unit dasarnya adalah negara (dalam pengertian sempit) sebagaimana dipergunakan
Ibnu Khaldun secara khusus untuk menunjuk suatu pemerintahan atau rezim politik.
Suatu masyarakat besar (negara Islam) terdiri atas suatu ragam negara-negara,
sebagian beada di puncak kekuasaan, yang lain berada dalam dekadensi, dan yang
lain masih dalam proses pembinaan. Negara sebagai suatu unit, bagaikan suatu
individu, memiliki rentangan hidup terbatas (rentangan masing-masing adalah tiga
generasi, atau secara kasar selama 120 tahun). Akan tetapi, Islam sebagai suatu
masyarakat besar akan selalu eksis.

pilah dan pilih serta tulis salah satu bentuk “komunitas” yang anda ketahui serta jelaskan dampak positif dan negative yang ditimbulkan dari komunitas tersebut?
Jawab
Ada komunitas online seperti terdapat pada facebook, twitter, google +, komunitas ini beraktifitas dalam dunia maya
Ada komunitas professional seperti dewan pers nasional yang mana mengayomi dan melindungi para kuli tinta dari tekanan di luar pekerjaan mereka.
Dampak psitif dan negative :
Pasitif : komunitas diatas dapat mempererat tali silahtuhrahmi sekaligus tempat tukar pendapat
Negative : masyarakat menjadi terkotak-kotak sesuai kegemaran dan profesi mereka.

Sebutka masing-masing 1 (satu) contoh, sesuai dengan pengamatan atau pengalaman anda. Serta jelaskan secara singkat program dan kegiatan, tujuan, fungsi dan sasaran, yang berkaitan dengan “pemberdayaan” baik yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, keluarga, maupun individu, atau ada usulan/rekomendasi perspektif program-kegiatan “pemberdayaan” yang efektif dan tetap sasaran untuk kepentingan khalayak kedepan?
Jawab
Uin community adalah forum online yang bercita-cita menyatukan mahasiswa uin Jakarta khususnya dan uin se-Indonesia dalam jangkauan yang lebih luas lagi.
Uin community adalah komunitas online yang berasal dari swadaya mahasiswa uin sendiri, dalam komunitas ini ada tempat kita meng-ekspresikan diri dalam berbagai hal, yang gemar dalam menulis bias memposting karya-karyanya yang sudah disediakan dalam bentuk web, yang gemar berbicara dan eksis bias ikut dalam program radio online yang tersedia, dan menjadi penyiar radio.