Jumat, 18 September 2015

MALU MASUK SURGA

Dunia hanya panggung sandiwara, kata banyak orang. Ia permainan belaka, betapapun indahnya kenikmatan alam yang pasti bakal rusak ini. Dunia sekadar jembatan bagi kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Bergiatlah ibadah dan berbuat baik, kelak kau mendapat surga. Dan teruslah durhaka dan berlaku jahat jika kau menghendaki neraka.

Berangkat dari pandangan biner ini,sebagian orang lantas membuat kesimpulan: tujuan akhir hidup di dunia ini adalah meraih kebahagiaansurgawi. Sedahsyat apapun sensasi kelezatan makanan di dunia, ia akanberhenti di lorong tenggorokan saja. Secantik dan setampan apapun wajah dan tubuh manusia, ia pasti fana dimakan usia. Sementara di surga, kondisi jauh lebih nikmat dan indah akan diperoleh selama-lamanya. Sebuah kebahagiaan yang belum pernah dilihat oleh mata, juga didengar oleh telinga (mâ lâ ‘ainun ra’at wa lâ udzunun sami‘at).

Tapi benarkah tujuan hakiki hidup adalah mendapatkan surga—dan karenanya otomatis menghindari neraka?Suatu kali Fudlail ibn 'Iyadl berkata, "Seandainya saya diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua." Fudlail malu. Tokoh sufi ternama ini merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang mendapatkannya.

Fudlail ibn ‘Iyâdl bukan sedang ingkar terhadap surga dan kebahagiaan di dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang mendorongnya bersikap semacam itu. ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib mencatat pernyataan ulama yang juga kerap disapa Abu Ali tersebut dalam kitabRaudlatuz Zâhidînketika membahasan Cinta dan Malu kepada Allah.

Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan pamrih apapun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan anugerah-Nya yang melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik sesungguhnya adalah secuil dari anugerah itu sendiri.

Suatu hari seorang laki-laki datangdan bertanya kepada Fudlail ibn ‘Iyâdl, “Wahai Abu Ali, kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cinta kepada Allah ta'ala?"

"Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa cinta," jawab Fudlail.
Sebagaimana manusia, surga dan neraka adalah makluk. Fudlail berpandangan, Allah adalah hakikat tujuan hidup.

Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap kalimat “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn". Kita semua hamba Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan yang total membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi permintaan Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun.

Minggu, 13 September 2015

Jenggot dan kecerdasan

Jenggot dan KecerdasanDalam Jenggot dan kecerdasa kitab Akhbar Al-hamqa wal Mughaffilin Libnil Jauzy disebutkan

Abdul Malik bin marwan berkata: Barang Siapa panjang jenggotnya maka ia sedikit akalnya, Ulama lain berkata: Barang siapa yang pendek perawakannya,kecil kepalanya dan panjang jenggotnyaMaka jelas bagi muslimin untuk menisbatkan pada akalnya. Ashabul firosah berkata: ketika seseorang tinggi perawakan dan panjang jenggotnya maka bisa dipastikan ia orang yang bodoh.

Sebagian Ahli Hikmah mengatakan: Tempatnya akal itu pada otak, jalan jiwa itu melalui hidung dan tempat kebodohan itu pada panjangnya jenggot.
Dan dari sa'd bin Manshur mengatakan: aku berkata kepada ibn idris: Apakah kamu tahu sulam bin abi hafshah? dia menjawab: iya, aku melihat panjang jenggotnya dan dia bodoh.Ziad berkata: Tidaklah tambah lelaki yang jenggotnya melebihi genggammannya, kecuali hanya tambah kurang akalnya(kecerdasannya)

Sebagian penyair berkata dengan Bahar Mutaqarib: Ketika pemuda mempunyai jenggot lebar dan panjang sampai pusarnya, maka kalnya(kecerdasannya) berkurang seukuran panjang jenggotnya(semakin panjang semakin kurang). KesimpulanHukum mencukur jenggot terdapat khilaf, palagi kalau kita bawa ke ranahlintas madzhab sangat banyak sekali khilafnya, sedangkan untuk panjang jenggot itu sampai berapa? sebagian mengatakan seukuran genggaman tangannya, bahkan jika melebihi genggaman tidak akan nampak kealimannya justru kebodohannya dan semakin panjang akan semakin nampak kebodohannya.Yang terpenting dari penjelasan ini adalah sebagai Muslim sudah seharusnyata'dzim dengan Ulama yang pendapatnya belum kita ketahui dalilnya, karena bukan mereka yang keliru namun kita yang masih minim pengetahuan agama. Wallahu a'lam.

Selasa, 08 September 2015

KEPING NERAKA DI SURGA

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Ahmad Syafii Maarif

Karena perhatian disedot oleh masalahdalam negeri, nasib rakyat di beberapa negeri Arab yang dilanda krisis berat, agak terlupakan. Artikel Bassel Oudat dari Damaskus dibawah judul “Syria’s Impasse” dalam harian Al-Ahram, 25 Agustus 2015, telah memukul batin saya tentang betapa parahnya krisis yang melanda Suria ini. Seakan-akan sebuah kepingan neraka sedang diciptakan di sana oleh para aktornya: lokal, regional, dan global. Pada tingkat lokal melibatkan rezim al-Assad, kelompok Negara Islam (ISIS), dan kelompok Islamis lainnya yang baku hantam berebut pengaruh di negara gagal itu. Islam sebagai agama perdamaian telah berhenti jadi rujukan dalam penyelesaian konflik, dibuang jauh entah ke mana. Para elite yang terlibat dalam konflik berdarah-darah ini semuanya memahami dan bercakap dalam Bahasa Arab, Bahasa Alquran, tetapi nurani mereka telah tersumbat untuk menerima petunjuk.Pada tataran regional, Iran terus saja memasok senjata dan bantuan lainnya kepada rezim al-Assad dengan tujuan memperkuat pengaruhnya dengan mengorbankan bangsa yang oleng itu. Tentu saja Iran dalam berebut hegemoni politik dengan Saudi Arabia di kawasan kacau itu ingin memperagakan taringnya dengan menguasai Suria sejauh mungkin. Perkara rakyat Suria bermain dengan maut setiap saat tidak perlu dipertimbangkan. Inilah corak kekuasaan biadab atas nama agama. Oudat menulis: “Ia [Iran] menyebut Suria sebagai perluasan dari tanahnyasendiri dan sekaligus memanfaatkan konflik itu untuk mendorong posisi tawar yang keras dalam pembicaraan nuklirnya dengan pihak Barat.

”Di sini definisi kepentingan nasionaltidak ada lagi kaitannya dengan prinsip-prinsip moral Islam. Pada kutup lain Saudi Arabia merasa ringansaja bekerja sama dengan Israel dalammenghadapi Iran. Teologi sunni-syi’ahsama-sama dieksploitasi semata-mata bagi tujuan kekuasaan duniawi. Apa yang disebut bangunan solidaritas Arab sudah lama runtuh. Rezim al-Assad yang Arab, tetapi brutal itu, merasa lebih nyaman berdampingandengan Iran, demi kelangsungan kekuasaannya. Pergolakan rakyat yang semula damai untuk menuntut kebebasantelah berubah menjadi konflik bersenjata yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Kota-kota di seluruh negeri yang nahas itu telah hampir rata dengan tanah.

Di awal kolomnya, Oudat  menulis: “Meskipun merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terburuk di abad ini, krisis Suria tampaknya telah terjerembab melalui keretakan diplomasi internasional. Dielakkan oleh Amerika, disabotase oleh Rusia, dan dizalimi oleh Iran, negeri itu telah jadi korban rezim brutal, milisia sektarian, pasukan upahan dankelompok jihadis dalam berbagai aliran, dan menjadi mangsa diplomasi pura-pura tetapi tidak ada pengaruhnya…Ia [krisis Suria] telah jadi sumber keuntungan bagi kelompok jihad global, peluang politik bagi Teheran dan Moskow, dan kutukan bagi rakyat jelata.

” Perang saudara selamaempat setengah tahun ini telah merenggut ratusan ribu nyawa, ratusanribu jadi pengungsi dengan segala penderitaan dalam perjalanan ke berbagai negara. Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suria jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya.

Omar Kosh, peneliti oposisi Suria berkata: “Tampaknya Amerika, Rusia, dan Iran punya satu persamaan: syahwat untuk menghancurkan Suria.” Tambahan lagi bagi Amerika, dengan hancurnya Suria, Israel pasti akan mendapatkan keuntungan yang besar. Saya hampir kehabisan kosa-kata untukmenggambarkan tentang betapa moral internasional, termasuk dunia Islam, telah tiarap dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang diderita rakyat Suria. Memang Amerika masih mengirim bom untuk menghancurkan kekuatan ISIS, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk menurunkan rezim brutalal-Assad yang telah membawa negeri itu bertekuk lutut k epadanya yang dulu telah dimulai oleh bapaknya Hafez al-Assad yang sama kejamnya dengan menggunakan Partai Baath Suriasebagai kekuatan penindas.Sekarang seluruh kota Suria telah binasa, masa depan rakyatnya gelap-gulita, sementara dunia membisu membiarkan drama maut ini berlangsungterus. Ya, Allah, mohon tampakkan keberpihakan Engkau untuk menolong hamba-hambaMu yang menjadi korban para elite yang mabuk dunia dan gila kekuasaan. Rakyat Suria dibiarkan sendiri menanggulangi nasibnya dalam kepungan penderitaan yang nyaris tanpa batas. Oleh sebab itu, ya Allah, dengarlah jeritan tangis mereka, karena Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui!

Minggu, 06 September 2015

STADZ DADAKAN ITU BELAJAR AGAMA SEPERTI MEMASAK MI INSTAN DI MASAK LIMA MENIT SIAP DI HIDANGKAN.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyatakan bahwa dalammemahami Islam tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Karena ilmu di dalam Islam sangatlah luas. “Akibatnya jika Islam dipelajari dengan cara cepat saji seperti mie instan maka hasilnya adalah pemahaman Islam yang sangat dangkal,” ujarnya.

Akibat dari dangkalnya pengetahuan Islam adalah munculnya radikalisme dalam Islam. “Sedikit-sedikit teriak Allahu Akbar, Negara Islam. Ini surga, ini neraka. Kalau tidak Negara Islam, maka akan celaka.

Pemahaman seperti ini didapat karena belajar Islam terlalu singkat,” papar Kang Said.

Di pesantren saja, paling tidak dibutuhkan waktu empat tahun untuk belajar Islam. “Yang di pesantrensaja belum tentu matang, apalagi yang kilat, cuma dua minggu pas liburan sekolah,” katanya. Untuk menutupi kekurangan pengetahuan mereka tentang Islam, mereka berpakaian dan berpenampilan ala Arab. “Itu (pakaian Arab, red) adalah budaya. Sehingga yang budaya jadi agama, dan agamanya malah hilang. Sedangkan hal yang prinsip dalam agama tidak mereka pahami. Padahal jika kita mau membaca al Quran, di sana disebutkan,laa ikraaha fiddin, tidak boleh ada kekerasan dalam agama,” jelas Kang Said.

Makna ayat ini pun bisa dibalik, artinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. “Jadi, kalau ada kelompok yang melakukan kekerasan, itu bukan agama, sama sekali bukan sedang mengamalkan agama,” tegasmya.Menurut Kang Said, Islam memiliki konsep tasamuh atau toleran, namun hal ini masih jarang dipraktekkan. Al Quran mengajarkan, jika Muslim memiliki tetangga non Muslim dan tidak mengganggu maka seorang Muslim harus berbuat bakti tehadapnya. "Jadi bukan hanya berbuat baik, tapi berbuat bakti. Misalnya saya punya tetangga Katolik, masuk angin lalu saya kerokin," papar Kang Said.

Seperti yang tersebut dalam "Piagam Madinah" yakni, wa laa udwaana illa ala al dzaalimin, tidak adapermusuhan kecuali kepada mereka yang zalim. "Jaditidak boleh bermusuhan karena perbedaan agama, politik, dan lain sebagainya. Yang menjadi musuh kita adalah mereka yang zalim. Seperti penjahat narkoba, koruptor, dan sejenisnya," pungkas Kang Said.

sumber: nu.or.id

Kamis, 03 September 2015

ORGASME DALAM ISLAM

pakah dalam hubungan badan suami harus memuaskan istri? Bagaimana jika di dapati ternyata suami menderita ejakulasi dini? Apakah berdosa suami tersebut? Karena ketidakmampuannya memuaskan istri? Bagaimana pejelasannya dalam Islam? Dalil pokok dalam masalah ini adalah firman
Allah,وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Sang istri memiliki hak (yang harus dipenuhi suami) sebagaimana kewajiban yg dia yang harus dia penuhi untuk suaminya, dengan baik (dalam batas wajar).”(Q.S. Al-Baqarah: 228)Sebagaimana suami menginginkan mendapatkan kepuasan ketika melakukan hubungan badan dengan istrinya, demikian pula istri. Dia memiliki hak untuk mendapatkan kepuasan yang sama sebagaimana suaminya. Oleh karena itu, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Batasannya adalah bil ma’ruf (dalam batas wajar).
Dan batasan ini dikembalikan menurut anggapan umumnya masyarakat.Ibnu Abbas mengatakan:إني لأحب أن أتزين للمرأة كما أحب أن تتزين لي المرأة ؛ لأن الله يقول : وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Saya suka berhias untuk istri, sebagaimana saya suka ketika istriku berhias untukku. Karena Allah berfirman, … (beliau membacasurat Al-Baqarah ayat 228 di atas).(HR. Ibn Jarir & Ibn Abi Hatim)
Sikap sebagian pasangan yang hanya mementingkan diri sendiri, baik dalam pergaulan pada umumnya maupunketika di atas ranjang, termasuk bentuk pelanggaran hak sesama. Itu artinya, sikap semacam ini termasukpelanggaran terhadap  perintah sebagaimana pada ayat di atas.Ibnul Qayyim mengatakan,“Wajib bagi suami untuk melakukan hubungan dengan istrinya dalam batas “bil ma’ruf” (dalam batas wajar), sebagaimana dia diwajibkanuntuk memberi nafkah, memberi pakaian, dan bergaul dengan istrinya dalam batas sewajarnya. Inilah inti dari pergaulan dan tujuan kehidupan rumah tangga. Allah memerintahkan para suami agarbergaul dengan mereka dalam batas wajar. Dan hubungan badan jelas termasuk  dalam hal ini. Mereka mengatakan, ‘Suami harus memuaskan istrinya dalam hubungan badan, jikamemungkinkan, sebagaimana dia wajib memuaskannya dalam memberi makan. Para guru kami –rahimahumullah– menguatkan dan memilih pendapat ini.’” (Raudhatul Muhibbin, hal. 217)Jika dalam kondisi tertentu, baik karena sakit atau faktor lainnya, kemudian salah satu pihak tidak mendapatkan haknya atau merasa dikurangi haknya, maka penyelesaian dalam masalah ini dikembalikan kepada kerelaan masing-masing.Semangat Memberikan yang Terbaik kepada Sesama Suami-IstriSebagaimana sang suami bisa jadi akan tertarik dengan wanita lain, karena tidak mendapatkan kepuasan yang wajar dari istrinya, demikian pula sebaliknya, bisa jadi sang istri tertarik dengan lelaki lain ketika dia tidak mendapatkan kepuasan yang wajar dari suaminya. Untuk menghindari hal ini, islam mengajarkan agar masing-masing berupaya memperbaiki diri, sehingga bisa memberikan yang terbaik bagi pasangannya. Semoga Allah memberikan kebahagiaan bagi keluarga kaum muslimin.. Amin. (seksislami)

Jumat, 21 Agustus 2015

MEDIA YANG TIDAK NETRAL

Saya malu kepada Allah, malu pada KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan para pendahulu kita. Lebih-lebih ketika saya disodori koran yang headlinenya 'Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh'." Petikansambutan Rais Aam PBNU, KH Mustofa Bisri ini menunjukkan bahwa kondisi muktamar NU yang diselenggarakan di Jombang, Jawa Timur berlangsung dengantidak sehat.

Ketidaksehatan sendiri terjadi baik disebabkan faktor internal maupun faktor eksternal. Internal diantaranya adalah munculnya ‘konflik’ ditubuh muktamar yang membuat pihak luar (media) menangkapnya sebagai isu menarik untuk menjadi bahan ulasan. Membaca berita di sejumlah media mainstream, yang kemudian tergambarkan adalah suasana muktamar yang sangat panas, yang dimana berbanding terbalik dengan organisasi massa yang selalu mengkampanyekan Islam damai dan moderat ini.

Namun, ketika mencoba mengkonfirmasikan keadaan tersebut dengan sejumlah tokoh PBNU dan para peserta muktamar, kondisinya tidak segarang yang diberitakan media-media. Yang sangat disayangkan, media tersebut merupakan media-media mainstream.

Untuk mengkaji lebih dalam, sebuah pendekatan analisis framing saya coba pergunakan membaca kondisi ini. Dengan teori ini, saya menemukan dua faktor penyebab utama, yakni faktor internal dan eksternal sebagaimana disebut diatas. Internal dalam hal ini adalah peserta muktamar (muktamirin) yang terkotak oleh kepentingan pencalonan Ketua Tanfidziyahdan Rais Aam. Sementara faktor eksternal lebih dilihat pada kepentingan media itu sendiri. Faktor pertama tidak perlu mendapatkan penonjolan yang berlebih, sebab dimanapun muktamar, kongres, konferensi atau apapun istilahnya, dimana agenda pemilihan pemimpin merupakan wilayah perebutan yang lumrah terjadi. Masih beruntung persaingan antar calon tidak menimbulkan adanya muktamar tandingan sebagai konflik organisasi yang lebih ekstrim. Pada faktor eksternal, pendekatan analisis framing mengarahkan media-media mainstream hampir seluruhnya memiliki kepentingan terhadap muktamar NU, baik dari perspektif politik praktis, maupun kepentingan lainnya. Media sendiri harus dibagi lebih spesifik, yakni kepentingan pemilik dan pengelola media, dan awak media (wartawan) yang bersangkutan. Kepentingan pemilik media misalnya, media mainstream seperti Metro TV, MNC Group, tvOne dan media cetak serta media online, memiliki kedekatan khusus dengan partai politik dan atau organisasi politik. Sementara Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keislaman, kadernya lebih banyak terdistribusikan pada partai politik ‘hijau’ seperti PKB dan PPP, sebagian kecil lainnya terdistribusikan di partai nasionalis.

Tentu hal ini memberi pengaruh terhadap pemberitaan, apalagi NU merupakan organisasi masyarakat yang memiliki massa terbesar di Indonesia dalam klaim yang disampaikan. Dimana perebutan massa dalam perpolitikan merupakan hal yang penting dilakukan. Menerapkan politikmedia adalah cara terbaik untuk mendapatkan massa politik, utamanya untuk mendongkrak suara saat pemilu.

Sedangkan untuk kepentingan wartawan, beberapa hal yang perlu diperhatikan, menyangkut kualitas wartawan, latar belakangnya, pendidikan dan pelatihan, gratifikasi dan tradisi copy paste. Hal-hal inilah yang harus dilihat secara lebih spesifik. Pada arena muktamar NU, ratusan wartawan diturunkan untuk memantau jalannya pesta akbar warga nahdliyin ini. Jika dilihat lebih spesifik, tentu akan ditemukan wartawan yang tingkat pendidikan (latar belakang pendidikan formal) yang tidak sejalur dengan kerja yang dijalani, serta latar belakang pelatihan(pelatihan kewartawanan oleh organisasi kewartawanan, media dan atau pemerintah) yang tidak pernah diikuti. Tentu saja karena tidak mengikuti pelatihan, sertifikasi kewartawanan merekadari Dewan Pers barangkali belum didapatkan. Tentunya jumlahnya juga tidak sedikit yang belum bersertifikasi dan memiliki grade tertentu yang resmi dari Dewan Pers.

Ini penting untuk disorot, karena semakin wartawan memiliki grade sertifikasi yang tinggi, maka wartawan tersebut akan semakin mampu untuk memahami bagaimana menulis berita konflik serta menghindari adanya konflik semakin meruncing yang dipicu dari pemberitaan. Meminjam istilah Johan Galtung, wartawanyang sertifikasinya pada level tinggi, akan lebih menulis dengan nuansapeace journalismketimbangwar journalismuntukhanya mengejar popularitas berita. Dari banyak berita yang saya baca dari media mainstream, banyak isu spekulan yang kemudian ditindaklanjuti menjadi bahan berita. Misalnya tentang penculikan Katib Aam KH. Malik Madani setelah mengkritik panitia. Berita ini cenderung menjadi berita provokatif karena tidak menempatkan sumber yang memiliki kredibilitas kuat dan memadai, tidak ada konfirmasi dari para pelaku konflik tersebutserta berita yang hanya bersumber pada SMS gelap yang beredar.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa wartawan yang menulis berita tersebut tidak memahami dengan baik bagaimana seharusnya menulis berita tentang konflik. Dimana pihak-pihak yang terkait konflik harus ditempatkan setara (cover both sides), berimbang (balances) dan tidak adakeberpihakan. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam risetnya tentang 9 elemen jurnalisme, menemukan bahwa kesalahan-kesalahan ini merupakan kesalahan yang umum terjadi. Dimana wartawan lebih banyak untuk mengedepankan isu dari pada mengkonfirmasi isu tersebut agar memiliki validitas.

Selanjutnya, gratifikasi, pihak-pihak yang berkepentingan dalam muktamar tidak menutup kemungkinan, baik langsung atau tidak langsung memberikan gratifikasi kepada wartawan. Faktor gratifikasi inilah yang sebenarnya paling memberikan pengaruh, dimana pada akhirnya wartawan menjual dependensinya kepada kelompok tertentu sehingga dalam memilih isu, memilih narasumber dan atau mengambil sudut pandang pemberitaan diarahkan secara terstruktur kearah yang diharapkan.

Gratifikasi hampir tidak bisa dipungkiri. Kenyataan gratifikasi pada jurnalis sudah menjadi rahasia umum, bahkan tarif-tarif tertentu diterapkan untuk sebuah pemberitaan. Hal ini tentu saja akan mampu memperkeruh suasana muktamar NU, dimana pihak yang berkepentingan untuk melegalkan isu yang dipublikasikan, cukup dengan menyiapkan nominal tertentu, kemudian menggelar jumpa pers.

Terakhir tentang tradisi copy paste. Tradisi ini menguat di area muktamar. Ketika satu isu ditemukan oleh wartawan, maka wartawan lain akan menulis isu yang sama,dan bahkan saling tukar menukar berita. Fakta tentang tukar menukar berita juga telah menjadi hal yang tidak bisa dipungkiridi kalangan jurnalis. Bahwa saling berbagi berita dan isu merupakan system ‘kerjasama’ antar jurnalis untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk jurnalisitik yang dihasilkan. Ketika isu yang disampaikan pada berita tertentu tepat, tukar menukar berita tidak menjadi masalah, namun akan semakin mempertebal eskalasi konflik, ketika isu yang digulirkan tidak tepat dan tidak valid sementara telah menyebar luas di kalanganwartawan. Hal ini akan semakin mempertajam konflik.Tentu apa yang dianalisis diatas tidak seluruh media dan seluruh wartawan melakukan hal demikian. Beberapa media mainstream tetap menjaga independensi berita dan ada pula wartawan yang tetap teguh menerapkan nilai-nilai serta etika jurnalisme sesuai kaidah. Ada pengecualian atas generalisasi yang dibahas diatas, dimana wartawan yang memegang prinsip jurnalisme damai, 9 elemen jurnalisme, kode etik jurnalistik dan regulasi kewartawanan lainnya.

Minggu, 19 Agustus 2012

DO'AMU IBU

Ibu...!
Aku tahu...
Semua letihmu itu tulus

Dan...akupun tahu
Bukan apa-apa yang engkau ingin
Engkau tak pernah inginkan apa-apa

Ibu...!
Dulu engkau pernah bilang
Cepatlah besar anakku !
Jadilah engkau orang besar
Yang membesarkan hati Ibu

Ibu...!
Semua hebatku
Tak kan pernah ada
Tanpa ikhlas pengorbananmu

Ibu...!
Sabdamu adalah do'a
Do'a yang nyaring terdengar
Dan pasti... didengar !

Bukan gelimang harta tuk membalas
Bukan pula, tahta dan mahkota
Bhakti, taat... menjaga hati
Itu saja...cari dan mesti kau beri