Banyak yang menyebut kalau AC Milan sekarang seperti memiliki dua wajah. Wajah pertama yang rupawan tampak di Liga Champions. Kemenangan lawan Girona dinihari tadi berarti dengan menang lima kali berturut-turut yang ketiga sepanjang sejarah, sebelumnya pada musim 1992-1993, 2004-2005. Dalam dua musim saat menang lima kali berturut-turut itu, Milan lolos ke final. Kini Milan berada di peringkat delapan besar yang menjamin lolos langsung ke 16 besar asal bisa menang lawan Dinamo Zagreb.
Sayang, Milan juga memiliki wajah lain, yaitu tampang buruknya di kancah Serie A. Saat ini Il Rossoneri berada di peringkat ke-8 Serie A yang membuat sulit untuk bisa lolos ke Liga Champions musim depan. Dalam tiga laga terakhir Serie A mereka menang, imbang dan kalah masing-masing satu kali.
Ada banyak faktor dalam sepakbola yang membuat sebuah tim disebut memiliki dua wajah. Faktornya cukup kompleks dan terkait. Pertama faktor psikologis, dimana kompetisi seperti Liga Champions memiliki tekanan dan motivasi berbeda. Pemain cenderung lebih termotivasi karena prestise internasional, hadiah yang lebih besar, dan kesempatan menunjukkan kemampuan di panggung global. Mereka merasa lebih terinspirasi dan bersemangat ketika bermain melawan tim-tim top Eropa, sementara di liga lokal, motivasi bisa menurun karena sudah terbiasa dan merasa pertandingan tidak sepenting kompetisi internasional.
Kedua faktor tradisi kompetisi dimana Serie A lawan memiliki tipikal permainan yang justru menjadi handicap bagi Milan. Ini adalah semacam bahasa halus untuk tidak menyebut pemain cenderung menurunkan konsentrasi dan tidak serius karena menghadapi tim yang dianggap lebih lemah.
Faktor lain adalah manajemen energi dan strategi dimana pelatih sering kali melakukan rotasi pemain di liga lokal untuk menjaga kondisi pemain kunci menghadapi kompetisi bergengsi seperti Liga Champions. Hal ini bisa menurunkan performa tim di liga domestik. Beberapa pemain top juga mungkin tidak sepenuhnya fokus pada liga lokal, dengan pikiran lebih tertuju pada pertandingan Eropa.
Di kompetisi internasional, tekanan publik dan media berbeda. Liga Champions memiliki sorotan global yang membuat pemain lebih terpacu untuk tampil maksimal. Sementara di liga lokal, tekanan bisa terasa berbeda dan membuat pemain kurang responsif. Dari aspek taktik, tim top Eropa biasanya memiliki strategi khusus untuk kompetisi internasional. Mereka lebih detail dalam persiapan, analisis lawan, dan pendekatan taktis. Di liga lokal, pendekatan bisa berbeda.
Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa performa tim sepakbola tidak selalu konsisten dan dipengaruhi oleh berbagai dinamika kompleks yang ada di balik lapangan.
Pertanyaannya, benarkah Milan memiliki dua wajah?
Sepertinya tidak. Jika melihat pertandingan melawan Girona dinihari tadi, jelas masih banyak sekali problem yang harus dipecahkan. Jadi, baik di Serie A maupun di Liga Champions masih memiliki masalah.
Soal pertama di lini depan. Mengulangi laga lawan Cagliari, finishing Milan buruk sekali. Top skorer Serie A untuk Milan setelah 20 pertandingan adalah Alvaro Morata, Christian Pulisic, dan Tijani Reijnders masing-masing dengan lima gol. Leao menyusul dengan 4 gol. Untuk Pulisic dan Reijnders angka tersebut cukup baik mengingat posisi mereka, tetapi bagi Alvaro Morata yang didatangkan untuk menggantikan Olivier Giroud, seharusnya mencetak lebih banyak gol.
Perbandingan dengan top skorer lain dari klub Serie A menunjukkan Mateo Retegui dari Atalanta dengan 14 gol, Marcus Thuram (Inter) dengan 13 gol. Lalu Moise Kean dari Fiorentina dengan 12 gol, Romelu Lukaku dan Lautaro Martinez 8 gol. Bahkan Patrick Cutrone sudah membuat tujuh gol.
Hanya Monza dan Parma yang top skorer-nya mencetak lebih sedikit gol dibandingkan Milan (4 gol), sementara Cagliari, Torino, dan Venezia berada di level yang sama dengan Rossoneri.
Ukuran lain untuk memahami persoalan tumpulnya lini depan adalah peringkat xG (Expected Goals, yaitu kualitas peluang yang diciptakan) dibandingkan dengan gol yang sebenarnya dicetak. Menurut Understat, Milan memiliki xG 35,23, menempati urutan ketiga di liga, hanya di bawah Inter dan Atalanta. Tapi gol yang dicetak sangat minim. Inter sudah mencetak 51 gol sementara Atalanta 46 gol. Milan baru membuat 29 gol. Contoh nyata pada momen di lapangan bisa dilihat bagaimana Yunus Musah membuang dua peluang dengan tidak memilih menembak langsung ke gawang Girona pada posisi menjanjikan.
Problem lain adalah lini belakang. Boleh dibilang Milan beruntung ketika gol Bryan Gil dianulir karena offside hanya beberapa centimeter. Girona juga memiliki banyak peluang yang menunjukkan bolongnya lini belakang Milan. Dari empat bek tengah utama, belum jelas benar mana sesungguh pemain inti. Apakah Strahinja Pavlovic, Gabbia, Thiaw maupun Tomori sering berganti dari waktu ke waktu.
Jelas benar masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Termasuk juga lini tengah.
Lalu berada di mana situasi Milan sekarang? Mungkin memang para pendukung perlu sepakat dengan kata-kata pelatih baru Sergio Conceicao. Menurut dia, Milan masih berada dalam tahap evolusi. "Kami sedang dalam periode evolusi dan harus terus bekerja. Ada beberapa hal yang berjalan baik dan banyak hal lain yang tidak berjalan dengan baik. Namun hal terpenting adalah hasilnya: kami terutama di babak pertama menciptakan peluang untuk mencetak lebih banyak gol dan mereka juga memilikinya. Di babak kedua, ketakutan untuk kebobolan lebih dominan daripada keinginan mencetak gol kedua, tetapi itu normal dalam momen ini."
Betul jika Milan berada dalam periode evolusi. Tetapi perlu juga untuk tim pelatih dan manajemen menetapkan tenggat waktu kapan keluar dari periode tersebut. Sembari diiringi perbaikan performa juga diikuti penambahan pemain baru, seperti striker Santiago Gimenez misalnya.
Jangan terlalu lama Morata, Tammy, Jovic atau Camarda mandul gol. Bukankah ini sudah setengah musim berjalan?